Pemerintah Hindia Belanda dan sultan Yogyakarta pada tanggal 26 dan 31 Maret 1831 mengadakan kontrak kerja sama tentang pembagian wilayah administratif baru dalam kasultanan disertai penetapan jabatan kepala wilayahnya. Saat itu Kasultanan Yogyakartadibagi menjadi tiga kabupaten yaitu Bantulkarang untuk kawasan selatan, Denggung untuk kawasan utara, dan Kalasan untuk kawasan timur. Menindaklanjuti pembagian wilayah baru Kasultanan Yogyakarta, tanggal 20 Juli 1831 atau Rabu Kliwon 10 Sapar tahun Dal 1759 (Jawa) secara resmi ditetapkan pembentukan Kabupaten Bantul yang sebelumnya dikenal bernama Bantulkarang tersebut di atas. Seorang nayaka Kasultanan Yogyakarta bernama Raden Tumenggung Mangun Negoro kemudian dipercaya Sri Sultan Hamengkubuwono V untuk memangku jabatan sebagai bupati Bantul.
Pada masa pendudukan Jepang, pemerintahan berdasar pada Usamu Seirei nomor 13 sedangkan 'stadsgemente ordonantie' dihapus.Kabupaten memiliki hak mengelola rumah tangga sendiri (otonom). Kemudian setelah kemerdekaan, pemerintahan ditangani oleh Komite Nasional Daerah untuk melaksanakan UU No 1 tahun 1945. Akan tetapi di Yogyakarta dan Surakarta undang-undang tersebut tidak diberlakukan hingga dikeluarkannya UU Pokok Pemerintah Daerah No 22 tahun 1948 dan selanjutnya mengacu UU Nomor 15 tahun 1950 yang berisi tentang pembentukan Pemerintahan Daerah Otonom di seluruh Indonesia.
Tombak Kyai Agnya Murni berasal dari kata agnya berarti perintah atau pemerintahan dan murni adalah suci/bersih. Sehingga dengan tegaknya pusaka itu membawa pesan ditegakkannya nilai kehidupan berperadaban sebagai pilar utama membangun pemerintahan yang bersih. Tombak pusaka Kyai Agnya-murni mengisyaratkan pamoring kawula Gusti. Dalam khasanah Jawa, dikenal istilah budaya berpamor agama. Sehingga dalam dimensi vertikal memiliki makna pasrah diri dan tunduk patuh insan ke haribaan Sang Khalik. Dalam dimensi horizontal mengisyaratkan luluhnya pemimpin dengan rakyat.
Tombak pusaka ini diberikan oleh Raja Kraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X pada Peringatan Hari Jadi ke-169 Kabupaten Bantul, Kamis 20 Juli 2007. Tombak ini memiliki dapur Pleret, yang mengisyaratkan Kabupaten Bantul agar mengingat keberadaan Pleret sebagai historic landmark yang menandai titik awal pembaharuan pemerintahan Mataram Sultan Agungan yang cikal bakalnya berada di Kerta Wonokromo. Tombak yang memiliki pamor wos wutah wengkon (melimpahnya kemakmuran bagi seluruh rakyat), dapat eksis bila ditegakkan pada landeyan (dasar) kayu walikukun. Landeyan itu simbul keluhuran budaya berbasis ilmu berintikan keteguhan iman.
Bupati
- Raden Tumenggung Mangun Negoro 20 Juli 1831
- Raden Tumenggung Jayadiningrat -
- Raden Tumenggung Nitinegoro -
- Raden Tumenggung Danukusumo -
- Raden Tumenggung Djojowinoto -
- Raden Tumenggung Djojodipuro -
- Raden Tumenggung Surjokusumo -
- Raden Tumenggung Mangunyuda 1899 - 1913
- K.R.T. Purbo Dininggrat 1913 - 1918
- K.R.T. Dirdjokusumo 1918 – 1943
- K.R.T. Djojodiningrat 1943 – 1947
- K.R.T. Tirtodiningrat 1947 - 1951
- K.R.T. Purwaningrat 1951 – 1955
- K.R.T. Brataningrat 1955 - 1958
- K.R.T. Wiraningrat 1958
- K.R.T. Setyosudarmo 1958 – 1960
- K.R.T. Sosrodiningrat 1960 – 1969
- K.R.T. Projo Harjono (Pejabat) 1969 – 1970
- R. Sutomo Mangkusasmito, SH. 1970 – 1980
- Suherman Partosaputro 1980 – 1985
- K.R.T. Suryo Padmo Hadiningrat (Moerwanto Suprapto) 1986 – 1991
- K.R.T. Yudadiningrat (Sri Roso Sudarmo) 1991 – 1998
- Drs. H. Kismosukirdo (PJ) 1998 – 1999
- Drs. HM. Idham Samawi 1999 – 2004
- Drs. Mujono NA Desember 2004 - Januari 2005 (Pelaksana Tugas Harian)
- Drs. HM. Idham Samawi 2005 - 2010 (Terpilih kembali melalui Pilkada Bantul 2005)
- Hj. Sri Suryawidati 27 Juli 2010 - sekarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar